Selasa, 10 November 2009

PENGERTIAN HUKUM

Pengertian Hukum
Prof. van Apeldoorn:
mengatakan bahwa definisi tentang Hukum sangat sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan yang sesuai dengan kenyataan.

DRS. E.Utrecht, SH:
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditaatioleh masyarakat itu.

Menurut Sarjana Hukum Indonesia lain:
1) S.M. Amin, SH:
Hukum adalah Kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi.
Tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga
keamanan dan ketertiban terpelihara.
2) J.C.T Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropramoto, SH;
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusiadalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran norma terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan
yaitu dengan hukuman tertentu.
3) M.H. Tirtaamindjaja, SH:
Hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituntut dalam tingkah laku, tindakan-
tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar
aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan
kehilangan kemerdekaannya di denda dan sebagainya.

UNSUR-UNSUR HUKUM
1) peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
2) peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
3) peraturan itu bersifat memaksa
4) sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas

CIRI-CIRI HUKUM
1) adanya perintah dan/atau larangan
2) perintah dan/atau larangan itu harus ditaati setiap orang

Dengan demikian setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu hukum meliputi berbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lain, yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan KAIDAH HUKUM.

Barang siapa yang dengan sengaja melanggar suatu kaidah hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaidah hukum) yang berupa hukuman-hukuman atau pidana itu bermacam-macam jenisnya, yang menurut Pasal 10 KUHP ialah:

1) Hukum Pokok, terdiri dari:
1) Hukuman Pidana mati
2) Hukuman Pidana Penjara
a) Seumur hidup
b) Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 atahun)
3) Hukuman Kurungan (sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya 1 tahun)
4) Hukuman Denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
2) Hukuman Tambahan, terdiri dari:
1) Pencabutan hak-hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman keputusan hakim

SIFAT HUKUM
Hukum memiliki sifat MENGATUR dan MEMAKSA. Oleh karena itu merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mentaatinya.

TUJUAN HUKUM:
Menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan yaitu, asas-asas keadilan dari masyarakat itu.

Tujuan hukum menurut
1) Prof. Subekti, SH:
v Hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
v Melayani tujuan Negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban sebagai syarat-
syarat pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.

Selanjutnya ditegaskan bahwa, keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membantu ketentuan di dalam hati orang, dan jika di usik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.
Dengan demikian keadilan itu selalu mengandung unsure “Penghargaan, penilaian, pertimbangan dank arena itu keadilan lazim dilambangakan dengan suatu Neraca Keadilan”. Keadilan itu menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang harus menerima bagian yang sama pula.
Menurut prof. Subekti, SH bahwa keadilan itu berasal dari Tuhan YME, tetapi seseorang itu diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil, segala kejadian di dunia ini sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia. Berdasarkan hal itu dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencerminkan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk mendapatkan keadilan, tetapi hukum juga harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan dengan tuntutan ketertiban atau kepastian hukum.

2) Prof.Mr.Dr.L.J. van Apeldoorn:
Megatur perjalanan hidup manusia secara damai, jadi hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-
kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda
terhadap pihak yang merugikannya.
Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan
manusia. Pertentangan kepentingan ini dapat menjadi pertikaian bahkan dapat menjelma
menjadi peperangan. Seandainya hukum tidak bertindak sebagai pekamata untuk
mempertahankan perdamaian.
Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan.
Secara teliti dan mengadakan keseimbangan karena hukum dapat mencapai tujuan jika
terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi antara setiap
orang yang menjadi bagiannya:
RHETORICA ARISTOTELES membedakan 2 macam keadilan:
1) Keadilan Distributif:
Keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut
haknya masing-masing)
Jadi dalam hal ini, tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama
banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan
Contoh: tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
2) Keadilan Komutatif:
Keadilan yang memberikan pada setiap orang yang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan
Contoh: mengenai tukar-menukar barang-barang dan jasa-jasa harus mendapat persamaan
antara apa yang dipertukarkan

SUMBER-SUMBER HUKUM
Sumber Hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum ada 2 macam:
1) Sumber Hukum Material:
Sumber hukum material dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya: dari sudut ekonomi,
sejarah, sosiologi, filsafat dsb.
Contoh:
a) Seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam
masyarakat yang menyebabkan timbulnya hukum
b) Seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum
adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
2) Sumber Hukum Formil
Sumber hukum formil antara lain:
1) Undang – Undang (Statute)
2) Kebiasaan (Costum)
3) Keputusan-keputusan hakim (Jurisprudentie)
4) Traktat (Treaty)
5) Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
Penjelasan:
1) Undang-Undang:
Ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan
dan dipelihara oleh penguasa Negara.
Menurut BUYS, Undang-Undang memilik 2 arti:
a) Undang-Undang dalam arti formal:
Ialah setiap keputusan pemerintahan yang merupakan undang-undang karena cara
pembuatannya.
Missal: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen dalam hal ini DPR.
b) Undang-Undang dalam arti material:
Ialah setiap keputusan pemerintahan yang menurut isinya mengikat langsung setiap
penduduk.
SYARAT-SYARAT BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG:
a) Syarat Mutlak untuk berlakunya suatu Negara ialah diundangkan dalam Lembaran
Negara (LN) oleh menteri/sekretaris Negara (dahulu:menteri kehakiman).
b) Tnggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan
dalam undang-undang itu sendiri:
Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka UU itu mulai
berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam LN untuk JAWA dan MADURA, dan
untuk daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam LN
Sesudah syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu “FICTIE”yaitu: setiap
orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang.
Hal iniberarti bahwa, jika ada orang yang melanggar UU tersebut, Ia tidak
diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan “Saya tidak tahu
menahu adanya undang-undang ini”

Berakhirnya kekuatan berlakunya suatu Undang-undang:
Dikatakan Undang-Undang tidak berlaku lagi jika:
a) jangka waktu berlaku telah ditentukan oleh UU itu sudah lampau.
b) Keadaan atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
c) Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau yang lebih tinggi.
d) Telah diadakan UU yang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu
berlaku.

Catatan:
Peraturan yang berlaku kemudian menghapuskan peraturan yang berlaku lebih dulu/dahulu.

Pngertian Lembaga Negara dan Berita Negara:
Pada jaman Hindia-Belanda Lembaran Negara (LN) disebut Staatsblad (disingkat Stb atau S). Setelah UU diundangkan dalam LN kemudian diumumkan Berita Negara, setelah itu diumumkan dalam siaran pemerintah melalui radio dan surat-surat kabar.
Sedangkan antara LN dan Berita Negara adalah:
a) Lembaran Negara (LN) ialah suatu lembaran (kertas) tempat mengundangkan
(mengumumkan) semua peraturan-peraturan Negara dan pemerintah agar sah berlaku.
Mengenai penjelasan dari pada UU itu dimuat dalam tambahan Lembaran Negara, yang
mempunyai Nomor Berurut. Lembaran Negara diterbitkan oleh Department Kehakiman
(Sekarang Sekretariat Negara yang disebut dengan tahun penerbitan dan nomor berurut)
Misal:
v LN. Tahun 1962 No.1 (LN.1962/1)
v LN. Tahun 1962 No. 2 (LN. No. 2 Tahun 1962)
b) Berita Negara ialah suatau penerbitan resmi department kehakiman (Sekretariat Negara)
yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan peraturan-peraturan Negara dan
pemerintah dan menurut surat-surat yang dianggap perlu, Seperti:Akta pendirian
PT, Firma, Koprasi, nama-nama orang dinaturalisasi menjadi warga Negara Indonesia dll.
Contoh: tempat pengundangan peraturan-peraturan daerah/kotapraja ialah Lembaran
Daerah/Lembaran Kotapraja.

2) Kebiasaan (Custom)
Ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama.
Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu
berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan
kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian
timbulah suatu kebiasaan hukum yang dalam pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Contoh:
Apabila seorang komisioner sekali menerima 10% dari hasil penjualan atau pembelian
sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan komisioner yang lainpun menerima upah
yang sama yaitu 10%, maka oleh karena itu timbul suatu kebiasaan dan lambat laun
berkembang menjadi hakim kebiasaan.
Timbl suatu persoalan, apakah seorang hakim harus memperlakukan hukum kebiasaan:
Menurut Pasal 15 Agemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB):
Kebiasaaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-undang menunjuk pada
kebiasaan untuk diperlakukan. Jadi hakim harus memakai kebiasaan dalam hal-hal UU
menunjuk kepada kebiasaan.

3) Keputusan Hakim (Yurisprudensi):
Ialah peraturan pokok yang pertama pada jaman Hindia-Belanda dahulu ialah Algemene
Bepalingen van wetgeving voor Indonesie yang disingkat AB, yaitu ketentuan-ketentuan
umum tentang perundang-undangan untuk Indonesia.
AB ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 yang termuat dalam Staatsblad 1847 No. 23,
dan hingga saat inimasih berlaku berdasarkan Pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang
menyatakan “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD” Menurut Pasal 22 AB menyatakan “Hakim yang
menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia
dapat dituntut untuk di hukum karena menolak mengadili”
Menyimak ketentuan Pasal 22 AB jelaslah bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat
peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara, apabila undang-undang atau
kebiasaan-kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakai untuk menyesuaikan
perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang
diberikan oleh pasal 22 AB, menjadi dasar keputusan hakim lainnya, kemudian untuk
mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut menjadi sumber hukum bagi
pengadilan.
Jadi keputusan hakim yang berdasarkan peraturan sendiri dari hakim yang disebut dengan
HAKIM YURISPRUDENSI:
YURISPRUDENSI adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar
keputusan oleh hakim lain/kemudian mengenai masalah yang sama.
Yurisprudensi ada 2 macam:
1) Yurisprudensi Tetap:
Keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan menjadi dasar
bagi pengadilanuntuk mengambil keputusan.
Alasan seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia
sependapat dengan isi keputusan tersebut yang hanya dijadikan sebagai pedoman dalam
mengambil suatu keputusan terhadap perkara yang sama dan/atau serupa
2) Yurisprudensi Tidak tetap

4) Traktat (Treaty)
Dalam hal ini dua orang mengadakan kata sepakat (consensus) tentang suatu hal, maka
untuk itu mereka mengadakan suatu perjanjian.
Akibat dari perjanjian yang diadakan itu, isi perjanjiannya mengikat pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian itu, disebut:
“Pacta Sunt Servanda” yang berarti: perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya
atau setiap perjanjian harus ditaati atau ditepati”
Perjanjian yang diadakan antar dua atau lebih Negara disebut perjanjian antar Negara atau
perjanjian internasional atau TRAKTAT.
Jadi Traktat inidapat juga mengikat warga Negara dari Negara-negara yang mengadakan
perjanjian ini.
v Traktat Bilateral: perjanjian yang diadakan hanya oleh dua Negara
Misal:
Perjanjian internasioanl yang diadakan antara pemerintah RI dengan pemerintah RRC
tentang “Diri Kewarganegaraan”
v Traktat Multilateral: Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih.
Misal: perjanjian internasional Negara-negara eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa
eropa.
v Traktat Terbuka (Kolektif): Jika Traktat multilateral memberikan kesempatan kepada
Negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya, kemudian menjadi
pihaknya.
Misal: Piagam PBB
5) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Dalam menetapkan apa yang akan menjadi dasar keputusan, hakim sering mengutip
pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya. Sehingga
pendapat dari seseorang sarjana hukum merupakan sumber hukum yang terpenting.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa, Mahkamah Internasioanl dalam Piagam Mahkamah
Internasioanl (Statute of International Court at Justice) Pasal 38 ayat 1 mengakui bahwa,
dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa
pedoman:
1. Perjanjian-perjanjian Internasional (International Conventions)
2. Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International Custom)
3. Asas-asa hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
4. keputusan hakim dan pendapat-pendapat sarjana hukum

KLASIFIKASI HUKUM
Kodifikasi hukum adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Unsur-unsur kodifikasi hukum:
1) Jenis-jenis hukum tertentu
2) Sistematis
3) Lengkap
Tujuan diadakannya Kodifikasi hukum tertulis yaitu untuk memperoleh:
1) Kepastian hukum
2) Penyederhanaan hukum
3) Kesatuan hukum
4) Mempermudah proses hukum

MACAM-MACAM PEMBAGIAN HUKUM
Menurut asas pembagiannya:
1) Menurut sumbernya
2) Menurut bentuknya
3) Menurut tempat berlakunya
4) Menurut waktu berlakunya
5) Menurut cara mempertahankannya
6) Menurut sifatnya
7) Menurut wujudnya
8) Menurut isinya

Pembagian hukum menurut sumbernya:
1) hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-
undangan.
2) Hukum kebiasaan (adat), yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan
kebiasaan (adat)
3) Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara di dalam suatu perjanjian
anta Negara (traktat)
4) Hukum Yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim

Pembagian hukum menurut bentuknya:
1) Hukum tertulis, yaitu: hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan.
Hukum tertulis ada 2:
a) Hukum tertulis yang telah dikodifikasikan, seperti: KUHPerdata (1848) dan KUHPidana
(1918), hak cipta.
b) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, seperti: hukum perkoprasian, hak paten, hukum
agrarian.
2) Hukum tak tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi
tidak tertulis (disebut Hukum kebiasaan)

Pembagian hukum menurut tempat berlakunya:
1) Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara
2) Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur dalam hubungan-hubungan hukum
dalam dunia internasional
3) Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam Negara lain
4) Hukum gereja, yaitu kumpulan norma-norma yang diterapkan oleh gereja untuk para
anggotanya

Pembagian hukum menurut waktu berlakunya:
1) Ius Constitutum (Hukum Positif) yaitu: hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu pada suatu daerah tertentu
2) Ius Constituentum yaitu: hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan dating
(masih direncanakan)
3) Hukum Asasi (Hukum Alam) yaitu: hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu
dan untuk segala bangsa didunia. Hukum ini tidak mengenal batas waktu melainkan berlaku
untuk selamanya (abadi) terhadap siapapun juga diseluruh tempat

Pembagian hukum menurut Cara mempertahankannya:
1) Hukum material yaitu: hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur
kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan
larangan-larangan.
Contoh: Hukum materiil, hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang dll.
Jika orang berbicara hukum pidana, hukum perdata, maka yang dimaksud adalah
hukum pidana materiil dan hukum perdata materiil.
2) Hukum Formil (Hukum Proses atau hukm Acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-
peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum
materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan
suatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi putusan
Contoh: Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.

Pembagian hukum menurut sifatnya:
1) Hukum yang memaksa yaitu: hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus dan
mempunyai paksaan mutlak
2) Hukum yang mengatur (hukum pelengkap) yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila
pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perdamaian

Pembagian hukum menurut wujudnya:
1) Hukum Obyektif yaitu hukum dalam suatu Negara yang berlaku umum dan tidak mengenai
orang atau golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang
mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih
2) Hukum Subyektif yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku terhadap
seseorang tertentu atau lebih. Hukum subyektif disebut juga HUKUM HAK.

Pembagian hukum menurut isinya:
1) Hukum Privat (Hukum Sipil) yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang
yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan
perseorangan
2) Hukum Publik (Hukum Negara) yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara
dengan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara Negara dengan perseorangan
(warna Negara)

Dari macam-macam pembagian hukum tersebut diatas yang terpenting adalah Hukum sipil (Hukum Privat atau Hukum Perdata) dan Hukum Publik (Hukum Negra).

Hukum Sipil (Hukum Privat atau Hukum Perdata) dan Hukm Publik (Hukum Negara) terdiri dari:
1) Hukum Sipil dalam arti luas, yang meliputi: hukum Perdata dan Hukum dagang.
2) Hukum Sipil dalam arti sempit, yang meliputi hukum perdata saja.

Catatan:
Dalam beberapa buku tentang hukum, orang sering mempermasalahkan hukum sipil dengan hukum perdata.
Agar tidak membandingkan , perlu dijelaskan bahwa:
a) jika diartikan secara sempit, maka hukum perdata itu adalah bagian dari hukum sipil.
b) Jika diartikan secara sempit, maka hukum perdata itu adalah sama dengan hukum sipil
c) Dalam bahasa asing:
1) hukum sipil: Privaatrecht atau Civielrecht
2) hukum perdata: Burgelijkrecht
3) hukum priva dalam arti luas, meliputi:
a) Burgelijkrecht
b) Handelsrecht (hukum dagang)

Hukum Publik (Hukum Negara) terdiri dari:
a) Hukum Tata Negara, yaitu hukum yang mengatur bentuk dan susunan ppemerintahan
suatu negara serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, serta
hubungan antara negara (Pemerintahan Pusat) dengan bagian-bagian negara (daerah-
daerah swastantra)
b) Hukum Publik Internasional (Hukum antar negara), yaituhukum yang mengatur hubungan
antara Negara yang satu dengan Negara-negara yang laindalam hubungan internasional

Perbedaan Hukum Perdata (Sipil) dengan Hukum Pidana dapat dilihat dari sudut:
1) Dari sudut perbedaan isinya:
a) Hukum Perdata: mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang
lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
b) Hukum Pidana: mengatur hubungan hukum antara seorang anggota masyarakat
(warganegara) dengan Negara yang menguasai tata tertib masyarakat itu.
2) Dari sudut perbedaan pelaksanaannya:
1) Pelanggaran terhadap norma-norma perdata baru diambil tindakan oleh pengadilan
setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan. Pihak yang
mengadu menjadi penggugat dalam perkara perdata.
2) Pelanggaran terhadap norma hukum pidana pada umumnya segera diambil tindakan oleh
pengadilan tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah terjadi pelanggaran
terhadap norma hukum pidana (delik = tindakan pidana), maka alat-alat perlengkapan
negara seperti polisi, jaksa dan hakim segera bertindak.
Pihak yang menjadi korban cukup melaporkan kepada yang berwajib (polisi)

AHMAD ANTON

MAKALAH AL ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air adalah sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Dalam kehidupan ini manusia secara khusus adalah makhluk yang yang sangat membutuhkan air utamanya air bersih yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mulai dari mandi, mencuci, makan dan minum.
Dalam Islam air merupakan sumber kebersihan bagi setiap muslim, maka dari itu para fuqaha' (ahli fiqhi) menjadikan pembahasan tentang air sebagai bab paling pertama dalam setiap mengawali penjelasan mereka tentang fikih. Hal ini dapat terlihat bagaimana para fuqaha' menempatkan pembahasan tentang air pada bab pertama sebagai landasan dalam kitab thahara (bersuci).
Sebagai sebuah tesis bahwa air adalah alat utama untuk mengangkat hadas baik kecil maupun besar dan membersihkan najis yang terdapat pada badan, oleh karena itu para fuqaha' memberikan syarat bahwa air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang tidak berubah salah satu dari sifat utamanya yaitu dari warnanya, baunya, dan rasanya, jadi apabila salah satu dari ke tiga sifat ini berubah, maka para ulama menganggapnya air sebagai yang suci dan tidak mensucikan.
Berdasarkan pemahaman di atas kita dapat mengetahui bahwa air yang dapat digunakan dalam bersuci adalah air yang suci pula dan air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci adalah air yang tidak memenuhi syarat-syarat kesucian seperti berubahnya salah satu dari tiga sifat utamanya, tercampurnya dengan benda najis kalau air yang tercampur tersebut sedikit dan sebagainya.
A. Pengertian Kebersihan
Kebersihan adalah upaya manusia untuk memelihara diri dan lingkungannya dari segala yang kotor dan keji dalam rangka mewujudkan dan melestarikan kehidupan yang sehat dan nyaman. Kebersihan merupakan syarat bagi terwujudnya kesehatan, dan sehat adalah salah satu faktor yang dapat memberikan kebahagiaan. Sebaliknya kotor tidak saja merusak keindahan tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit, dan sakit merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan penderitaan.
B. Pentingnya Kebersihan
Ungkapan “Bersih Pangkal sehat” mengandung arti betapa pentingnya kebersihan bagi kesehatan manusia, baik per-orangan, keluarga, masyarakat maupun lingkungan.
Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan/membersihkan diri”. (Al-Baqarah : 222)
Ajaran kebersihan dalam Agama Islam berpangkal atau merupakan konsekusensi dari pada iman kepada Allah, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya Ia berpeluang mendekat kepada Allah SWT. Kebersihan itu bersumber dari iman dan merupakan bagian dari iman. Dengan demikian kebersihan dalam Islam mempunyai aspek ibadah dan aspek moral, dan karena itu sering juga dipakai kata “bersuci” sebagai padanan kata “membersihkan/melakukan kebersihan”.
Ajaran kebersihan tidak hanya merupakan slogan atau teori belaka, tetapi harus dijadikan pola hidup praktis, yang mendidik manusia hidup bersih sepanjang masa, bahkan dikembangkan dalam hukum Islam. Dalam rangka inilah dikenal sarana-sarana kebersihan yang termasuk kelompok ibadah, seperti : wudhlu, tayamum, mandi (ghusl), pembersihan gigi (siwak).
Adanya kewajiban shalat 5 waktu sehari merupakan jaminan terpeliharanya kebersihan badan secara terbatas dan minimal, karena ibadah shalat itu baru sah kalau orang terlebih dahulu membersihkan diri dengan berwudhlu. Demikian juga ibadah tersebut baru sah jika pakaian dan tempat dimana kita melakukannya memang bersih. Jadi jaminan kebersihan diri, pakaian dan lingkungan mereka yang melaksanakannya. Disinilah letaknya ibadah itu ikut berperan membina kesehatan jasmani selain tentunya peran utamanya membina kesehatan jiwa/rohani manusia.
Kebersihan badan/jasmani seorang muslim, tidak menghilangkan najis, ber-istinja dan berwudhlu saja, tetapi adakalanya harus melakukan pembersihan badan secara menyeluruh dengan qhusl (mandi). Membersihkan diri dengan mandi menjadi suatu kewajiban dalam rangka pelaksanaan ibadah manakala seseorang junub (usai melakukan hubungan seksual atau seusai haid/nifas (khususnya bagi wanita)). Selain dari itu, ajaranIslam menkankan anjurannya supaya orang itu mandi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ibadah tertentu., yaitu :
1. Shalat jum’at
2. Shalat idul fitri
3. Shalat idul adha
4. Shalat istis’qo
5. Shalat kusuf
6. Shalat khusuf
7. Orang yang usai memandikan mayat
8. Orang non muslim yang baru saja menganut agama Islam
9. Orang gila yang baru sadarkan diri
10. Orang pingsan yang baru sadarkan diri
11. Orang yang akan mengenakan pakaian ihram (untuk memulai ibadah umrah atau haji)
12. Orang yang akan memasuki kota suci Mekkah
13. Orang yang akan wukuf di Arafah
14. Orang yang akan mabit di Muzdalifah
15. Orang yang akan melontar Jumrah
16. Orang yang akan Thawaf
Semua yang diatas disebut Al-Aqhsal Al-Masnunah,. Kata imam Syarbini Al-khatib dalam kitab Al-Iqnak, bahwa anjuran untuk mandi tidak hanya terbatas pada waktudan keadaan tersebut diatas, tetapi mandi itu dianjurkan pada setiapwaktu kita akan menghadiri suatu pertemuan, dan setiap waktu badan kita berubah bau (disebutkan keringat dan lain sebagainya). Jadi mandi itu adalah suatu hal yang sangat terpuji untuk memelihara kebersihan badan/ jasmani kita, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadah.
Ajaran Islam juga memberikan perhatian cukup kepada kebersihan makanan dan minman. Orang muslim disuruh memilih makanan yang baik dan dilarang memakan segala yang najis dan apa saja yang mengancam kesehatan dan keselamatannya.
Selain dari itu orang muslim dicegah dari minuman yang akan mengancam keselamatan/kesehatan dirinya seperti Khomar (minuman keras) sebagaimana dipertegas dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90.
Islam memberikan prioritas pada masalah kebersihan itu dalam ajaran “Thaharah” sebagai wujud nyata dari sanitasi yakni usaha untuk membinadan menciptakan suatu keadaan yang baik dibidang kesehatan, menyehatkan lingkungan hidup manusia, terutama lingkungan fisik, yaitu tanah, air dan udara. Hidup bersih hendaknya menjadi sikap masyarakat muslim, karena hidup bersih merupakan tolak ukur dari kehidupan muslim.
Umat Islam yang disebut oleh Allah sebagi “Khaira Ummatin” (umat teladan), dituntut tanggung jawabnya untuk menjadi teladan dalam memelihara kebersihan dan mampu membudayakan hidup bersih, baik karena motif ibadah ataupun hidup sehat.
Untuk menjadi teladan dalam hidup bersih harus dimulai dari diri sendiri, rumah tangga sendiri, tempat ibadah sendiri dalam lingkungan sendiri. Pemeliharaan kebersihan berarti mentaati perintahAllah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri.
Ruang Lingkup Objek Kebersihan atau Thaharah
Hal-hal yang harus dibersihkan dari najis adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Menyucikan Badan dan Pakaian
Bila badan dan pakaian terkena najis, hendaklah dicuci dengan air sehingga hilang zat-nya, rasa-nya, warna-nya dan bau-nya.
b. Menyucikan Tanah
Bila tanah ditimpa najis, maka disucikan dengan menumpahkan air kepadanya. Bisa juga dengan mengeringkannya, baik tanah itu sendiri maupun apa yang berhubungan erat denganya seprti pohon dan bangunan.
c. Menyucikan Terampah/sepatu
Terompah/sepatu yang bernajis, menyucikannya dengan menggosokannya ketanah.
d. Menyucikan Kulit Binatang
Kulit binatang baik luar maupun dalamnya, disucikan dengan jalan menyamakannya.
3. Qadhaul Hajah (buang air)
Bagi orang yang hendak melakukan buang air besar ada adab atau tertib, yang dapat disimpulkan sebagai berikut ;
a. Tidak membawa barang yang membuat nama Allah.
b. Menjauhkan dan menyembunyikan diri dari manusia
c. Membaca basmalah dan isti’adzah secara keras (jahar) diwaktu hendak masuk kakus
d. Menghindarkan bicara sama sekali baik berupa dizkir atau pun lainnya. Maka tidak perlu menyahuti ucapan salam atau adzan
e. Hendaklah menghargai kiblat, hingga tidak menghadap atau membelakangi kiblat
f. Agar menghindari lobang supaya tidak menyakiti hewan-hewan yang mungkin ada disana
g. Hendaklah menjauhi tempat orang berenang, jalanan dan tempat pertemuan mereka
h. Tidak buang air ditempat mandi, kolam atau bak, air tergenang dan air mengalir
i. Tidak kencing sewaktu berdiri
j. Wajib menghilangkan najis yang terdapat pada kedua jalan (membersihkan kubul dan dubur)
k. Tidak bersuci dengan tangan kanan demi menjaga kebersihannya dari menyentuh kotoran
l. Supaya mencuci tangan dengan sabun atau menggosok tangan ketanah setelah bersuci, agar hilang bau busuk yang melekat disana
m. Agar memakai alas kaki seperti terompah/sendal memriksa kemaluan dan selamanya dengan air bila kencing
n. Mendahulukan kaki kiri sewaktu hendak masuk, kemudian bila keluar melangkah dengan kaki kanan.
4. Khishasul Fitrah
Secara khusus, Rasulullah SAW memberikan perhatian mengenai kebersihan dalam lima perkara sebagai mana sabdanya :
Artinya :
“Lima perkara berupa fitrah, yaitu : memotong bulu kemaluan, berkhitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku”. (HR Jama’ah)
Dari hadits tersebut, yang perlu mendapat perhatian dalam kebersihan adalah :
a. Memotong Bulu Kemaluan
Dengan maksud agar kotoran dan bibit penyakit yang ada disekitarnya dapat dibersihkan.
b. Berkhitan
Adalah memotong kulup (kulit yang menutupi ujung kemaluan) dengan maksud untuk memudahkan membersihkannya sehingga tidak ada sisa dari najis.
c. Memotong Kumis
Dengan maksud agar tidak ada kotoran dibawah lubang hidung yang mungkin terhisap pada waktu bernafas yang mengakibatkan timbulnya penyakit
d. Mencabut Bulu Ketiak
Dengan maksud agar tidak ada kotoran yang terlindungi oleh bulu ketiak yang sulit dibersihkan
e. Memotong Kuku
Dengan maksud agar tidak ada kotoran yang sulit dibersihkan karena ada kotoran dari ujung jari terhalang oleh kuku.

5. Gashl (Mandi)
Gashl atau mandi adalah membersihkan seluruh badan dengan menyiramkan air keseluruh tubuh secara merata.
a. Mandi Wajib
Yaitu membasahi seluruh bagian tubuh yang tampak, termasuk gigi. Mandi wajib ini disebut juga mandi junub, yang menyebabkannya adalah :
1) Keluar Mani baik diwaktu bangun atau diwaktu tidur, laki-laki ataupun perempuan
2) Bersenggama
3) Mati, orang yang meninggal dunia wajib dimandikan sebelum dikhafani dishalatkan dan dimakanmkan
Dalam melaksanakan mandi wajib ini harus disertai niat menghilangkan hadast besar, baru membasahi seluruh tubuh dengan air.
b. Selain Mandi Wajib
Yang disebut mandi sunnat, yaitu :
1) Mandi Jum’at
2) Mandi pada dua hari raya yaitu Idul fitri dan idul Qur’ban
3) Mandi bagi orang yang telah memandikan mayat
4) Mandi ihram
5) Mandi ketika hendak masuk kota Mekkah
6) Mandi bagi orang yang baru masuk Islam
6. Wudhlu
Wudhlu adalah membersihkan bebrapa bagian dari beberapa anggota badan, yang dilakukan sebelum melakukan ibadat tertentu, khususnya ibadah shalat. Karena wudhlu merupakan salah satu syarat sah shalat. Adapun urutan yang dibersihkan dalam wudhlu itu adalah sebagi berikut :
a. Menggosok gigi atau siwak
b. Mencuci kedua telapak tangan
c. Berkumur-kumur
d. Memasukan air kehidung kemudian mengeluarkannya
e. Menyiang-nyiangi jenggot jika berjenggot
f. Menyiang-nyiangi anak jari
g. Membasuh muka
h. Membasuh kedua tangan
i. Menyapu kedua telinga
j. Membasuh kedua kaki











BAB II
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN THAHARAH
Thaharah berarti bersih ( nadlafah ), suci ( nazahah ) terbebas ( khulus ) dari kotoran ( danas ). Seperti tersebut dalam surat Al- A’raf ayat 82
إنّهم انا س يتطهّرون
Yang artinya : “ sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri “ . Dan pada surat al- baqorah ayat 222:
إنّ الله يحبّ التّوّابين و يحبّ المتطهّرين
Yang artinya : “ sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri “ .
Menurut syara’ thaharah itu adalah mengangkat ( menghilangkan ) penghalang yang timbul dari hadats dan najis. Dengan demikian thaharah syara’ terbagi menjadi dua yaitu thaharah dari hadats dan thaharah dari najis.
Pengertian Thaharah
Thaharah atau bersuci adalah membersihkan diri dari hadats, kotoran, dan najis dengan cara yang telah ditentukan, Firman Allah swt. Dalam surat Al-Baqarah:222
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Macam – macam Thaharah
Thahharah terbagi dalam 2 bagian :
1. Suci dari hadats ialah bersuci dari hadats kecil yang dilakukan dengan wudhu atau tayamum, dan bersuci dari hadats besar yang dilakukan dengan mandi.
2. Suci dari najis ialah membersihkan badan, pakaian dan tempat dengan menghilangkan najis dengan air.

Macam – macam najis dibagi 3 :
1. Najis mughallazhah (berat/besar), yaitu najis yang disebabkan sentuhan atau jilatan anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah dibasuh 7x dengan air dan salah satunya dengan tanah.
2. Najis mukhaffafah (ringan), yaitu najis air seni anak laki – laki yang belum makan atau minum apa – apa selain ASI. Cara menyucikannya dipercikkan air sedangkan air seni anak perempuan harus dibasuh dengan air yang mengalir hingga hilang zat atau sifatnya.
3. Najis mutawassithah (pertengahan), yaitu najis yang ditimbulkan dari air kencing, kotoran manusia, darah,dan nanah. Cara menyucikannya dibasuh dengan air di tempat yang terkena najis sampai hilang warna, rasa, dan baunya.
Makna “Thaharah” mencakup aspek bersih lahir dan bersih bathin. Bersih lahir artinya terhindar (terlepas) dari segala kotoran, hadas dan najis. Sedangkan bersih bathin artinya terhindar dari sikap dan sifat tercela.
Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (terjemahan) mengemukakan bahwa thaharah atau bersuci mempunyai empat tingkatan yaitu :
- Tingkat Pertama
Membersihkan anggota-anggota lahiriah dari hadas, najis-najis atau kotoran-kotoran serta benda-benda kelebihan yang tidak diperlukan.
- Tingkat Kedua
Membersihakn hati dan sifat-sifat tercela.
- Tingkat Ketiga
Membersihkan rahasia bathiniah dari sesuatu yang selain dari Allah, dan ini adalah Thaharah-nya para nabi dan shiddiqin.
Didalam Al-Qur’an ayat yang menyebutkan tentang kebersihan lebih dari 33. Ayat tersebut menyangkut berbagai masalah kebersihan, antara lain :
1. Kebersihan Rohani
Ajaran kebersihan mendasar adalah menyangkut kebersihan rohani
2. Kebersihan Badan
Kebersihan badan dan jasmani merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kebersihan rohani, karena setiap ibadah harus dilakukan dalam keadaan bersih badannya.
3. Kebersihan Tempat
Ajaran kebersihan juga menyangkut kebersihan tempat kita melaksanakan ibadah atau sarana peribadatan. Mesjid sebagai tempat suci, dimana kaum muslimin melakukan ibadah harus dipelihara kesucian dan kebersihannya karena ibadah shalat tidak sah jika dikerjakan ditempat yang tidak bersih atau kotor.
4. Kebersihan Pakaian
Kebersihan pakaian dipandang penting dalam Agama, mengingat pakaian meleket pada badan yang berfungsi menutup aurat, melindungi badan dari kotoran dan penyakit serta memperindah badan, maka ajaran Islam menyatukan antara kebersihan badan dan kebersihan pakaian
5. Kebrsihan Makanan
Ajaran Islam tentang kebersihan makanan menyatukan aspek kebersihan dari segi kesehatan dan kebersihan dalam arti makanan yang halal.
Makanan yang halal adalah makan yang dibolehkan oleh Agama (tidak diharamkan), sedangkan makanan yang baik adalah makanan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan, termasuk makanan yang bersih, bergizi dan berprotein.
6. Kebersihan Lingkungan
Ajaran Islam memandang penting kebersihan lingkungan hidup, menghindarkan pencemaran dari limbah atau sampah.
7. Kebersihan Dalam Rumah Tangga
Ajaran Islam tentang kebersihan juga menyangkut kebersihan rumah tangga, baik mengenai tempat tinggal maupun soal hubungan antara anggota keluarga khusunya Suami-Istri.
8. Kebersihan Harta
Ajaraan Islam tentang kebersihan juga meliputi tentang kebersihan harta, karena dalam harta itu terdapat hak Allah dan harta orang lain. Cara membersihkan harta ialah dengan membayar zakat harta, zakat fitrah, infaq dan sadaqah. Seperti firman Allah dalam surat AT-Taubah ayat 103.
Agama Islam menghendaki dari umatnya kebersihan yang menyeluruh. Dengan kebersihan yang menyeluruh itu diharapkan akan terwujud kehidupan manusia, individu dan masyarakat yang selamat, sehat, bahagia dan sejahtera lahir dan bathin.
Untuk mencapai tujuan diatas, Agama Islam memberikan tuntutan dan petunjuk tata cara berthaharah (bersuci) dan menjaga kebersihan.
II. THAHARAH DARI HADATS
Macam – macam Hadats dibagi 2 :
1. Hadats besar ialah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci, maka ia harus mandi atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats besar ialah :
a. Bersetubuh baik keluar mani ataupun tidak
b. Keluar mani, baik karena bermimpi atu sebab lain
c. Meninggal dunia
d. Haid, nifas dan wiladah
2. Hadats kecil adalah keadaan seseorang tidak suci dan supaya ia menjadi suci maka ia harus wudhu atau jika tidak ada air dengan tayamum. Hal – hal yang menyebabkan seseorang berhadats kecil ialah :
a. Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur
b. Karena hilang akalnya disebabkan mabuk, gila atau sebab lain seperti tidur
c. Karena persentuhan antara kulit laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya tanpa batas yang menghalanginya Karena menyentuh kemaluan
Perbedaan antara hadats,kotoran, dan najis
Hadats dan najis merupakan sesuatu yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah tertentu seperti shalat. Hadats berbeda dengan najis karena hadats berarti keadaan dan bukan suatu benda atau zat tertentu sedangkan najis berarti benda atau zat tertentu dan bukan suatu keadaan. Adapun kotoran memiliki makna yang lebih umum dari najis, sebab meliputi pula sesuatu yang kotor namun tidak menghalangi seseorang melakukan ibadah, contohnya tanah, debu dan lain - lain.
Thaharah dari hadats ada tiga macam yaitu wudhu’, mandi, dan tayammum. Alat yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak untuk wudhu’ dan mandi, tanah yang suci untuk tayammum.



A.WUDHU’
Menurut lughat ( bahasa ), adalah perbuatan menggunakan air pada anggota tubuh tertentu. Dalam istilah syara’ wudhu’ adalah perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat. Mula-mula wudhu’ itu diwajibkan setiap kali hendak melakukan sholat tetapi kemudian kewajiban itu dikaitkan dengan keadaan berhadats. Dalil-dalil wajib wudhu’:

1. ayat Al-Qur'an surat al-maidah ayat 6 yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan sholat , maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan ke dua mata kaki …”
2. Hadits Rasul SAW

لا يقبل الله صلاة احدكم إذا احدت حتّي يتوضّأ
Yang artinya “ Allah tidak menerima shalat seseorang kamu bila Ia berhadats, sampai Ia berwudhu’ “ ( HR Baihaqi, Abu Daud, dan Tirmizi )
Dalam wudhu’ terdapat niat. Ada beberapa pendapat mengenainya. Sebagian Ulama amshar berpendapat bahwa niat itu menjadi syarat sahnya wudhu’ , mereka adlah Ima as- syafi’I, Malik, Ahmad, Abu Tsaur, dan Daud. Sedang Fuqoha lainnya berpendapat bahwa niat tidak menjadi syarat ( sahnya wudhu’ ). Mereka adalah abu Hanifah, dan Ats- sauri. Perbedaan mereka karena , perbedaan pandangan mengenai wudhu’ itu sendiri. Yang memang bukan ibadah murni seperti sholat. Hal ini dilakukan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Syarat Wudhu
Islam
Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
Tidak berhadas besar.
Dengan air yang suci dan menyucikan.
Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.

Rukun Wudhu
Meniga kalikan membasuh.
Menyela-nyela jari-jari tangan dan kaki.
Membaca doa sesudah wudhu.

Yang Membatalkan Wudhu
1. Keluar sesuatu dari qubul atau dubur, berupa apapun , benda padat atau cair, angin. Terkecuali maninya sendiri baik yang biasa maupun tidak, keluar sendirinya atau keluar daripadanya. Dalil yang berkenaan dengan hal in yaitu surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya “ … atau keluar dari tempat buang air ( kakus ) … “
2. Tidur, kecuali duduk dalam keadaan mantap. Tidur merupakan kegiatan yang tidak kita sadari, maka lebih baik berwudhu’ lagi karena dikhawatirkan pada saat tidur ( biasanya ) dari duburnya akan keluar sesuatu tanpa ia sadari.
3. Hilang akal, dengan sebab gila, mabuk, atau lainnya. Batalnya wudhu’ dengan hilangnya akal adalah berdasarkan qiyas kepada tidur, degan kehilangan kesadaran sebagai persamaannya.
4. Bersentuh kulit laki-laki dan perempuan .Firman Allah dalam surat An- nisa ayat 43 yanga artinya “ … atau kamu telah menyentuh perempuan ..” . Hal tersebut diatasi pada sentuhan :
• Antara kulit dengan kulit
• Laki- laki dan perempuan yang telah mencapai usia syahwat
• Diantara mereka tidak ada hubungan mahram
• Sentuhan langsung tanpa alas atau penghalang
5. Menyentuh kemaluan manusia dengan perut telapak tangan tanpa alas.

Cara Berwudhu
• Membaca basmalah, sambil mencuci kedua belah tangan sampai pergelangan tangan sampai bersih.
• Berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi.
• Mencuci lubang hidung tiga kali.
• Mencuci muka tiga kali.
• Mencuci kedua belah tangan hingga siku-siku tiga kali.
• Menyapu sebagian rambut kepala tiga kali.
• Menyapu kedua belah telinga tiga kali.
• Mencuci kedua belah kaki tiga kali sampai mata kaki.

B. MANDI ( AL – GHUSL )
Menurut lughat, mandi di sebut al- ghasl atau al- ghusl yang berarti mengalirnya air pada sesuatu. Sedangkan di dalam syara’ ialah mengalirnya air keseluruh tubuh disertai dengan niat. Fardhu’ yang mesti dilakukan ketika mandi yaitu :
1. Niat. Niat tersebut harus pula di lakukan serentak dengan basuhan pertama. Niat dianggap sah dengan berniat untuk mengangkat hadats besar, hadats , janabah, haidh, nifas, atau hadats lainnya dari seluruh tubuhnya, untuk membolehkannya shalat.
2. Menyampaikan air keseluruh tubuh, meliputi rambut, dan permukaan kulit. Dlam hal membasuh rambut, air harus sampai kebagian dlam rambut yang tebal. Sanggul atau gulungan rambut wajib dibuka. Akan tetapi rambut yang menggumpal tidak wajib di basuh bagian dalamnya.
Untuk kesempurnaan mandi, di sunatkan pula mengerjakan hal-hal berikut ini:
1. membaca basmalah
2. membasuh tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejan
3. bewudhu’ dengan sempurna sebelum memulai mandi
4. menggosok seluruh tubuh yang terjangkau oleh tangannya
5. muwalah
6. mendahulukan menyiram bagian kanan dari tubuh
7. menyiram dan mengosok badan sebanyak- banyaknya tiga kali
Sebab –sebab yang mewajibkannya mandi :
1. mandi karena bersenggama
2. keluar mani
3. mati, kecuali mati sahid
4. haidh dan nifas
5. waladah ( melahirkan ). Perempuan diwajibkan mandi setelah melahirkan, walaupun ’ anak ‘ yang di lahirkannya itu belum sempurna. Misalnya masih merupakan darah beku ( alaqah ), atau segumpal daging ( mudghah ).
Pengertian mandi jinabah
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : “dan jika kamu junub maka mandilah”
Mandi Jinabah adalah mandi dikarenakan keadaan junub yaitu disebabkan hal-hal berikut :
Bersetubuh, baik keluar mani ataupun tidak.
Keluar mani, baik keluarnya karena bermimpi ataupun sebab lain dengan sengaja atau tidak; dengan perbuatan sendiri atau bukan.
Mati; dan matinya itu bukan mati syahid.
Karena selesai nifas.
Karena wiladah.
Karena selesai haid.
Rukun mandi
Niat نو يت الغسل لر فع الحدث الا كبر فر ضا لله تعا لى
Artinya : “saya berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar karena allah ta’ala
Membasuh seluruh badan dengan air yakni meratakan air kesemua rambut dan kulit.
Menghilangkan najis.
Sunnah mandi
Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
Membaca basmalah pada permulaan mandi.
Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan dari pada kiri.
Membasuh badan sampai tiga kali.
Membaca do’a sebagaimana membaca do’a sesudah berwudlu.
Mendahulukan mengambil air wudlu yakni sebelum mandi; disunahkan berwudlu lebih dahulu.
Larangan bagi yang haid
Bersenang-senang dengan apa yang antara pusar dan lutut.
Berpuasa baik sunah maupun wajib.
Dijatuhi thalak (cerai).
Melakukan tawaf di Baitullah
Adapun sebab-sebab yang mewajibkan mandi yaitu :
1. Karena berkumpulnya suami istri, baik mengeluarkan air mani atau tidak. Sabda Rasulullah saw :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَاالتَقَى اْلخَتَافَانِ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلُ وَاِنْ لَمْ يُنْزِلْ (رواه مسلم)
Artinya :
Rasulullah saw bersabda :”Apabila bertemu dua khitan, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi meskipun tidak keluar mani” (H.R muslim).
2. Karena keluar mani, baik disebabkan oleh mimpi atau sebab-sebab lainnya
3. Karena meninggal dunia (mati)
Sabda Rasulullah SAW:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِى اْلمُحْسِ مِ الَّذِى وَقَصَتْهُ نَاقَتُهُ اغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرِ (رواه ابخارى ومسلم)
Artinya:
Dari Ibnu Abas, Rasulullah SAW telah bersabda tentang orang mati karena terlontar oleh untanya, ka beliau: “mandikanlah dia olehmu dengan air dan bidara”. (H.R Bukhari dan Muslim)
4. Karena datang bulan (haid)
5. Karena nifas, yaitu keluar darah ketika melahirkan

b. Mandi Sunnat
Disamping mandi wajib sebagaimana dijelaskan di atas, ada pula mandi sunnat yaitu mandi yang di sunatkan karena sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :
1. Akan mengerjakan shalat jum’at
2. Akan melaksanakan shalat idul fitri atau idul adha
3. Orang gila yang sembuh dari gilanya
4. Akan melaksanakan ihram baik untuk haji maupun untuk umrah
5. Selesai memandikan jenazah
6. Orang kafir yang baru masuk Islam

c. Hikmah Mandi
Mandi merupakan salah satu cara bersuci dalam rangkaian ibadah yang secara umum mengandung hikmah bagi manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 6 yaitu:
.... يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَ كُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُروْنْ (المائده:6)
Artinya :
“Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya bersyukur”.

Adapun hikmahnya yaitu :
1. Dapat menetralisasi pengaruh kejiwaan yang ditimbulkan akibat pergaulan seksual.
2. Dapat memulihkan kekuatan dan kesegaran , dan membersihkan kotoran.
3. Menambah kekhusyuan dalam beribadah
4. Dapat memulihkan kesadaran, kesegaran dan ketenangan pikiran

muka bumi.
Kebersihan dan kesucian lahir dan batin merupakan hal yang utama dan terpuji dalam ajaran Islam, karena dengan kesucian an kebersihan dapat meningkatkan derajat harkat dan martabat manusia di hadirat Allah SWT

C. TAYAMMUM
Tayammum menurut lughat yaitu menyengaja. Menurut istilah syara’ yaitu menyampaikan tanah ke wajah dan tangan dengan beberapa syarat dan ketentuan .
Macam thaharah yang boleh di ganti dengan tayamumm yaitu bagi orang yang junub. Hal ini terdapat dalam surat al- maidah ayat 6 , yang artinya “ … dan jika kamu junubmaka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air ( kakus ) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik ( bersih )… “.
Tayammum itu dibenarkan apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. ada uzur, sehingga tidak dapat menggunakan air. Uzur mengunakan air itu terjadi dikarenakan sedang dalam perjalanan ( safir ), sakit, hajat. Ada beberapa kriteria musafir yang diperkenankan bertayammum, yaitu :
a. Ia yakin bahwa disekitar tempatnya itu benar-benar tidak ada air maka ia boleh langsungbertayammum tanpa harus mencari air lebih dulu.
b. Ia tidak yakin, tetapi ia menduga disana mungkin ada air tetapi mungkin juga tidak. Pada keadaan demikian ia wajib lebih dulu mencari air di tempat- tempat yang dianggapnya mungkin terdapat air.
c. Ia yakin ada air di sekitar tempatnya itu. Tetapi menimbang situasi pada saat itu tempatnya jauh dan dikhawatirkan waktu shalat akan habis dan banyaknya musafir yang berdesakan mengambil air, maka ia diperbolehkan bertayammum.
2. Masuk waktu shalat
3. Mencari air setelah masuk waktu shalat, dengan mempertimbangkan pembahasan no I
4. Tidak dapat menggunakan air dikarenakan uzur syari’ seperti takut akan pencuri atau ketinggalan rombongan
5. Tanah yang murni ( khalis ) dan suci. Tayammum hanya sah dengan menggunakan ‘turab’ , tanah yang suci dan berdebu. Bahan-bahan lainnya seperti semen, batu, belerang, atau tanah yang bercampur dengannya, tidak sah dipergunakan untuk bertayammum.
Rukun tayammum, yaitu :
1. niat istibahah ( membolehkan ) shalat atau ibadah lain yang memerlukan thaharah, seperti thawaf, sujud tilawah, dan lain sebagainya. Dalil wajibnya niat disini ialah Hadits yang juga dikemukakan sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini serentak dengan pekerjaan pertama tayammum, yaitu ketika memindahkan tanah ke wajah.
2. menyapu wajah. Sesuai firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 43 yang artinya “…sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun “ .
3. menyapu kedua tangan.
Fuqoha berselisih pendpat mengenai batasan tangan yang diperintahkan Allah untuk disapu. Hal seperti tersebut terdapat dalam al- quran surat al- Midah ayat 6 yang artinya “ … sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu .. “ . berangkat dari ayat tersebut lahirlah pendapat berikut ini :
a. berpendirian bahwa batasan yang wajib untuk melakukan tayammum adalah sama dengan wudhu’ , yakni sampai dengan siku-siku ( madzhab maliki )
b. bahwa yang wajib adalah menyapu telapak tangan ( ahli zahir dan ahli Hadits )
c. berpendirian bahwa yang wajib hanyalah menyapu sampai siku-siku ( imam malik)
d. berpendirian bahwa yang wajib adalah menyapu sampai bahu. Pendapat yan asing ini diriwayatkan oleh Az- Zuhri dan Muhammad bin Maslamah .
4. tertib , yakni mendahulukan wajah daripada tangan .
Hal-hal yang sunat dikerjakan pada waktu tayammum yaitu :
1. membaca basmalah pada awalnya
2. mamulai sapuan dari bagian atas wajah
3. menipiskan debu di telapak tangan sebelum menyapukannya
4. meregangkan jari-jari ketika menepukannya pertama kali ke tanah
5. mandahulukan tangan kanan dari tangan kiri
6. menyela nyela jari setelah menyapu kedua tangan
7. tidak mengangakat tangan dari anggota yang sedang disapu sebelum selesai menyapunya
8. muwalah.
Hal –hal yang membatalkan tayammum , yaitu semua yang membatalkan wudhu’ , melihat air sebelum melakukan sholat , murtad.
Pengertian Tayamum
Tayamum ialah mengusap muka dan dua belah tangan dengan debu yang suci. Tayamum adalah pengganti wudlu dan mandi dengan syarat-syarat tertentu
Syarat Tayamum
Tidak ada air dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak bertemu.
Berhalangan menggunakan air misalnya; karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh sakitnya.
Telah masuk waktu shalat.
Dengan debu yang suci.
Rukun Tayamum
Niat نو يت التيمم لا ستبا حة الصلا ة فر ضا لله تعا لى
Artinya: “saya berniat tayamum untuk diperbolehkan shalat karena allah ta’ala”
Mengusapkan muka dengan debu tanah dengan dua kali usapan.
Mengusap dua belah tangan hingga siku dengan debu tanah dua kali.
Memindahkan debu kepada anggota yang diusapkan.
Tertib.
SunahTayamum
Membaca basmalah.
Mendahulukan anggota kanan dari pada kiri.
Menepiskan debu

Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu.
Melihat air sebelum shalat kecuali yang bertayamum karena sakit.
Murtad.

III. THAHARAH DARI NAJIS
Benda-benda yang termasuk najis ialah kencing, tahi, muntah, darah, mani hewan, nanah, cairan luka yang membusuk, ( ma’ al- quruh ), ‘alaqah, bangkai , anjing, babi ,dan anak keduanya, susu binatang yang tidak halal diamakan kecuali manusia, cairan kemaluan wanita.Jumhur fuqaha juga berpendapat bahwa khamr adalah najis, meski dalam masalah ini banyak sekali perbedaan pendapat dilingkungan ahli Hadits.
Berbagai tempat yang harus dibersihkan lantaran najis, ada tiga tempat, yaitu : tubuh, pakaian dan masjid. Kewajiban membersihkan pakaian didasarkan pada firman Allah pada surat al- Mudatsir ayat 4.
Benda yang dipakai untuk membersihkan najis yaitu air. Umat Islam sudah mengambil kesepakatan bahwa air suci yang mensucikan bisa dipakai untuk membersihkan najis untuk ketiga tempat tersebut. Pendapat lainnya menyatakan bahwa najis tidk bisa dibersihkan (dihilangkan ) kecuali dengan air. Selain itu bisa dngan batu, sesuai dengan kesepakatan ( imam malik dan asy- syafi’I ).
Para ulama mengambil kata sepakat bahwa cara membersiohkan najis adlah dengan membasuh ( menyiram ), menyapu, mencipratkan air. Perihal menyipratkan air,sebagian fuqaha hanya mangkhususkan untuk membersihkan kencing bayi yan belum menerima tambahan makanan apapun.
Cara membersihkan badan yang bernajis karena jilatan anjing adalah dengan membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali, salah satu diantaranya dicampur dengan tanah. Hal ini berdasarkan Hadits Rasul SAW, yang artinya “ menyucikan bejana seseorang kamu, apabila anjing minum di dalam bejana itu , ialah dengan membasuhnya tujuh kali , yang pertama diantaranya dengan tanah.
Macam-Macam Najis Dan Cara Membersihkannya
Adapun pengertian kotoran dalam ajaran Islam secara khusus dikenal dengan nama najis, yaitu kotoran yang bagi setiap orang muslim wajib menyucikan diri dari padanya dan menyucikan apa yang dikenalnya.
1. Macam-Macam Najis Dan Cara Membersihkannya
Adapun pengertian kotoran dalam ajaran Islam secara secara khusus dikenal dengan nama najis, yaitu kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikan diri dari padanya dan menyucikan apa yang dikenai. Najis harus di suci-kan/dibersihkan, karena ia adalah sumber segala penyakit, najis terdiri dari :
a. Bangkai
Bangkai ialah binatang yang mati secara begitu saja, artinya mati tanpa disembelih menurut ketentuan Agama, termasuk apa yang di potong dari binatang hidup atau yang terlepas dari padanya.
Bangkai harus di bersihkan sehingga tidak meningalkan bekas, misalnya di kuburan, karena bangkai mengandung darah yang busuk yang dapat menjadi tempat timbulnya penyakit dan penularannya.
b. Darah
Yakni darah yang dapat mengalir atau tertumpah, misalnya darah binatang yang disembelih, darah haid dan nifas. darah ini harus dibersihkan hingga tidak berbekas dan tidak berbau, sebab didalam darah itu mungkin ada berbagai bakteri yang menyebabkan penyakit tertentu.
c. Daging Babi
Daging babi tidak boleh dimakan dan bila menyentuhnya harus dibersihkan.
d. Muntahan
Muntahan adalah kotoran yang keluar dari mulut manusia, muntah ini harus dibersihkan karena mungkin didalamnya mengandung vibrio kholera atau bakteri lain yang membahayakan.
e. Air Kencing
Air kencing harus dibersihkan hingga hilang zat-nya, warna-nya dan bau-nya, karena didalam air kemih mungkin ada baksil typhus, parathypus, tuberculosis dan gonococcum (penyakit kelamin).
Air kemih bayi laki-laki yang belum diberi makan tetapi hanya minum air susu Ibunya cukup buat menyucikannya dengan jalan memercikkan air atau mengelapnya dengan kain basah, sedangkan air kemih bayi perempuan tetap disucikan seperti air kemih orang dewasa.
f. Kotoran manusia
Kotoran manusia atau tinja (feces) adalah kotoran berupa zat padat yang keluar dari dubur. Kotoran manusia harus dikubur hingga tidak mengganggu pemandangan, karena mungkin mengandung bakteri typhus, parathypus, dysentri, vibrio kholera, telur cacing dan cacing perut. Untuk mengubur kotoran manusia ini hendaknya dibuat penamp[ungan tertutup (cubluk).
g. Wadi
Wadi yaitu cairan (air putih kental yang keluar dari kubul mengiringi air kencing.
h. Madzi
Madzi adalah cairan jernih bergetah yang keluar sewaktu mengingat senggama atau ketika sedang bercanda, baik laki-laki maupun perempuan.
i. Mani
Mani adalah cairan putih bergetah yang keluar waktu bersenggama atau mimpi bersenggama.
j. Kencing dan Kotoran Binatang
Keduanya merupakan najis yang harus dibersihkan seperti kencing dan kotoran manusia.
k. Khamar
khamar atau arak adalah minuman keras yang memabukan. Khamar adalah najis, hukumnya haram dan harus dibersihkan karena menimbulkan berbagai penyakit baik jasmani maupun rohani.
l. Anjing
Anjing adalah najis, khususnya air liurnya dan wajib mencuci segala apa yang dijilatnya sebanyak tujuh kali, mula-mulanya dengan tanah kemudian dengan air suci menyucikan.
m. Dahak dan Nanah
Air dahak dan nanah harus dibersihkan hingga hilang zat-nya, warna-nya dan bau-nya, karena didalamnya mungkin ada bakteri yang menimbulkan penyakit.

BAB IV
KESIMPULAN
Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci memperoleh tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum ditetapkan oleh syara dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir maupun batin.
Kesucian dan kebersihan lahir dan batin merupakan pangkal keindahan dan kesehatan. Oleh karena itu hubungan kesucian dan kebersihan dengan keindahan dan kesehatan erat sekali. Pokok dari ajaran ilam tentang pengaturan hidup bersih, suci dan sehat bertujuan agar setiap muslim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai khalifah di muka bumi
Kebersihan adalah upaya manusia untuk memelihara diri dan lingkungannya dari segala yang kotor dan keji dalam rangka mewujudkan dan melestarikan kehidupan yang sehat dan nyaman.
Ajaran kebersihan dalam agama Islam berpangkal atau merupakan konsekuensi dari pada iman kepada Allah SWT, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya Ia berpeluang mendekat kepada Allah SWT. Kebersihan itu bersumber dari iman dan merupakan bagian dari iman.
Islam memberikan prioritas pada masalah kebersihan dalam ajaran “thaharah” sebagai wujud nyata dari sanitasi, yakni usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik dibidang kesehatan, menyehatkan lingkungan hidup manusia, terutama lingkungan fisik, yaitu tanah, air dan udara. Hidup bersih hendaknya menjadi sikap hidup Islam seluruhnya dan membudaya dilingkungan masyarakat muslim, karena hidup bersih merupakan tolak ukur dari kehidupan muslim.
Cakupan ajaran Islam dalam berbagai maslaah kebersihan, diantaranya :
1. Kebersihan Rohani
2. Kebersihan Badan
3. Kebersihan Tempat
4. Kebersihan Pakaian
5. Kebersihan Makanan
6. Kebersihan Lingkungan
7. Kebersihan Dalam Rumah Tangga
8. Kebersihan Harta
Pelaksanaan kebersihan khusus yang diistilahkan dengan khasatul fitrah yaitu pelaksanaan kebersihan terhadap lima perkara yang bersifat khusus :
1. Macam-macam najis dan cara membersihkannya, Najis terdiri dari :
A. Bangkai H. Madzi
B. Darah I. Mani
C. Daging babi J. Kencing dan kotoran binatang
D. Muntahan K. Khamar
E. Air kencing L. Anjing
F. Kotoran manusia M. Dahak dan Nanah
G. Wadi
2. Ruang lingkup objek kebersihan atau thaharah
a. Menyucikan badan dan pakaian
b. Menyucikan tanah
c. Menyucikan terompah/sepatu
d. Menyucikan kulit binatang
3. Qadhaul Hajah (buang air)
4. Khishalul Fitrah
a. Memotong bulu kemaluan
b. Berkhitan
c. Memotong kumis
d. Mencabut bulu ketiak
e. Memotong kuku
5. Gashl (mandi)
a. Mandi Wajib
b. Selain mandi wajib (mandi sunat)
6. Wudhlu
7. Kebersihan dalam rumah tangga.
Rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang melaksanakan ajaran Islam yang antara lain mengenai pengadaan. Pemeliharaan dan pemanfaatan air bersih, kebersihan dan kesehatan lingkungan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.
AHMAD ANTON

DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistany al-Azdy, Sunan Abu Daud, (Cet. I; Bandung: Maktabatu Dahlan, T.Th), Jilid. I
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, al-Jami'u al-Shahih al- Ma'ruf bi Sunan al-Tirmidzy, (Cet.II; Semarang: PT. Toha Putra, T.Th), Jilid.1Abu Abdurrahman
Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan an-Nasai, Sunan an-Nasa'i (al-Mujtaba'), (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/ 1995M), Jilid. 1
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Cet. I; Semarang: PT. Toha Putra, T.Th), Jilid. 1.
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi al-Dimasyqi, Asbabul Wurud, diterjemahkan oleh H.M Suawarta Wijaya, BA dan Drs. Zafrullah Salim dengan judul, Asbabul Wurud; Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-Hadis Rasul, (Cet. VI; Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Jilid. 2
Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (W. 276 H), Ta'wil Mukhtalaf al-Hadis, (Cet. II; Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H / 1995 M),
Muhammad bin Idris al-Syafi'i (w. 204 H), Ta'wil Mukhtalaf al-Hadis, (Cet. I; Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1405 H / 1985 M)
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, (Cet. IV; Beirut: Dar al-Fikr, 1418H / 1997M), Jilid. 1
Abdullah bin Ahmad bin Qudama al-Maqdisi Abu Abdullah, al-Mughni, (Cet. I; Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), Jilid. 1.
Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma' al-Zawaid, (Cet. I; al-Qahirah: Dar al-Rayyan al-Turas, 1407 H), Jilid. 1.
Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil al-Margayani, Bidayatu al-Mubatdi, (Cet. I; al-Qahirah: Matba'ah Muhammad Ali Shubayyih, 1355 H).
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Biyatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, (Cet. I; Semrang : Usaha Keluarga, T,Th), Jilid. 1, hal. 17
Ibrahim Bin Ali Bin Yusuf al-Syairazi, al-Muhazzab, (Cet. I; Beirut : Dar al-Fikr, T.Th), Jilid. 1
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Bulugu al-Maram min Jam'i Adillati al-Ahkam. Cet. I; al-Qahirah: Dar al-Hadis, 2003.
Muhammad bin Ismail al-Kahlani al-San'ani, Subulu al-Salam Syarhu Bulug al-Maram. Cet. I; Bandung: Maktabah Dahlan, T.Th. Jilid. 1.Abdul Majid Hasyim, Al-Husaini, 2000, Pendidikan Anak Menurut Islam. Bandung : PT. Sinar Baru Algasindo.
Rasjid, Sulaiman.2004.Fiqih Islam.Bandung.Sinar Baru Algensindo.
Pustakawww.google.comProdjokusumo, H. S. dkk, 1992. Air, Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan Menurut Ajaran Islam. Jakarta.

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
UU No. 23 Tahun 2004
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunianya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini berisi tentang pembahasan dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Makalah ini dibuat untuk memberitahukan kepada masyarakat luas tentang betapa sangat dilarangnya kekerasanyang dilakukan di dalam ruang lingkup rumah tangga dan agar tidak ada lagi berita – berita tentang kekerasan yang dilakukan di dalam ruang lingkup rumah tangga
Penulis juga menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dalam pembuatan suatu makalah atau karya ilmiah. Untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan solusinya agar penulis dapat menyempurnakan tugas makalah ini di masa yang akan datang.
Dengan demikian, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga paper ini bermanfaat bagi semuanya dan dapat dijadikan pengetahuan dan sumber refrensi.
Medan, Juni 2009
Hormat Kami,
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………… ii
BAB I. Pendahuluan ………………………………………………… 1
BAB II. Pembahasan ………………………………………………… 2
BAB III. Penutup
3.1. Kesimpulan ………………………………………………… 4
3.2. Saran ………………………………………………… 4
UU No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga”
BAB I
PENDAHULUAN
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusiadan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Untuk itu, disini kami sebagai penulis akan membahas satu – per satu undang – undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam segi pengertian, maksud dan tujuan dibuatnya undang – undang ini, sanksi yang di dapat oleh tersangka.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU NO.23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan kekerasan yang dialami oleh seseorang terutama pada seorang wanita, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan lainyang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women),dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang – undang ini dibuat dan dilaksanakan untuk menghargai dah menghormati asas :
1. Penghormatan hak asasi manusia
2. Keadilan dan kesetaraan gender
3. Nondiskriminasi
4. Perlindungan korban
Dan tujuan dari pembuatan dan pelaksanaan Undang – undang ini adalah sebagai berikut :
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bukan hany perempuan saja yang menjadi korbannya tetapi anak – anak juga menjadi korbannya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 27 yang berbunyi ” Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ”
Agar korban kekerasan dalam rumah tangga tidak mengalami trauma dalam pernikahannya itu, maka korban dapat memperoleh pelayanan dari :
1. Tenaga kesehatan
2. Pekerja sosial
3. Relawan pendamping
4. Pembimbing rohani
Agar kekerasan dalam rumah tangga ini tidak terjadi lagi dalam setiap rumah tangga yang ada, maka pemerintah memberikan tindak pidan kepada setiap / semua orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga,yang diatur dalam undang – undang ini secara tindak pidana terdapat pada Pasal 44 – Pasal 49, selain tindak pidana tersebut hakim dapat menjatuhkan sanksi tambahan terhadap tersangkayang diatur pada Pasal 50 – Pasal 53
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
? Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan kekerasan yang dialami oleh seseorang terutama pada seorang wanita, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
? Sanksi yang akan didapat oleh para pelaku kejahatan kekerasan dalam rumah tangga tersebut sudah di atur di dalam undang – undang ini secara tindak pidana terdapat pada Pasal 44 – Pasal 49, selain tindak pidana tersebut hakim dapat menjatuhkan sanksi tambahan terhadap tersangkayang diatur pada Pasal 50 – Pasal 53
3.1. Saran
? Saran kami sebagai penulis adalah agar kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia harus benar – benar di hapuskan karena jika tidak benar – benar di hapuskan, maka semua orang akan takut untuk berumah tangga karena orang tersebut akan beranggapan bahwa setiap berumah tangga pasti akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga
? Kami berharap agar Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman
dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus;
c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang
kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat
perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam
rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
2
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
3. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
3
korban kekerasan dalam rumah tangga.
4. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
5. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat,
lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan
oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum
dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk memberikan perlindungan kepada korban.
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pemberdayaan perempuan.
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
b. suami, isteri, dan anak;
c. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
d. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah
tangga yang bersangkutan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
4
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
b. penghormatan hak asasi manusia;
c. keadilan dan kesetaraan gender;
d. nondiskriminasi; dan
e. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
b. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
c. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
d. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
e. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
BAB III
LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
b. kekerasan fisik;
c. kekerasan psikis;
d. kekerasan seksual; atau
e. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
5
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
BAB IV
HAK-HAK KORBAN
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
6
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.
BAB V
KEWAJIBAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
pemerintah:
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga;
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 13
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat
melakukan upaya:
7
b. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
c. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing
rohani;
d. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh
korban; dan
e. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman
korban.
Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masingmasing,
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga
sosial lainnya.
Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
b. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
c. memberikan perlindungan kepada korban;
d. memberikan pertolongan darurat; dan
e. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
BAB VI
PERLINDUNGAN
Pasal 16
(2) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada
8
korban.
(3) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(4) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Pasal 18
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pasal 19
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau
menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 20
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
b. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
c. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan; dan
d. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
9
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 22
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a. melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman
bagi korban;
b. memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
c. mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif;
dan
d. melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan
kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial
yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
Pasal 23
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
b. menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan
seorang atau beberapa orang pendamping;
c. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat
pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara
objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya;
d. mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban
merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
e. memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
10
korban.
Pasal 24
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan
taqwa kepada korban.
Pasal 25
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib:
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hakhak
korban dan proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap
memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26
(2) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
(3) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik
di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.
Pasal 27
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang
tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
11
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang
patut.
Pasal 29
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan
oleh:
b. korban atau keluarga korban;
c. teman korban;
d. kepolisian;
e. relawan pendamping; atau
f. pembimbing rohani.
Pasal 30
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau
tulisan.
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri
setempat wajib mencatat permohonan tersebut.
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga,
teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani
maka korban harus memberikan persetujuannya.
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan
korban.
Pasal 31
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk:
a. menetapkan suatu kondisi khusus;
b. mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah
perlindungan.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
12
bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam
rumah tangga.
Pasal 32
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan.
(3) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari
sebelum berakhir masa berlakunya.
Pasal 33
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah
perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib
mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan
dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan.
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani.
Pasal 35
(2) Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar
perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di
tempat polisi itu bertugas.
13
(3) Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam.
(4) Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat
menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah
melanggar perintah perlindungan.
(2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilanjutkan
dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu
1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam.
Pasal 37
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat mengajukan laporan
secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah
perlindungan.
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama korban pada waktu
pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38
(1) Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah
perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka
Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis
yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
14
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis
tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan
pelaku paling lama 30 hari.
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat
perintah penahanan.
BAB VII
PEMULIHAN KORBAN
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
b. tenaga kesehatan;
c. pekerja sosial;
d. relawan pendamping; dan/atau
e. pembimbing rohani.
Pasal 40
(2) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya.
(3) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
Pasal 41
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani wajib
memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian konseling
untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi korban.
Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.
Pasal 43
15
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja
sama diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
16
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00
(tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh
enam juta rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya
selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
17
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
b. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
c. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan
pidana tambahan berupa:
b. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku
dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak
tertentu dari pelaku;
c. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)
merupakan delik aduan.
Pasal 52
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 54
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan
menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
18
dalam Undang-undang ini.
Pasal 55
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
19
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
20
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2004 NOMOR 95
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2004
TENTANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
I. UMUM
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman,
tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah
tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang
dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus
ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.
Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama
kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup
rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya
dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku
21
kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib
melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta
perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan
secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada
kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang
memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau
tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan
dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena
undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai
22
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu
diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundangundangan
lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Perubahannya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan
tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal
kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja
sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi
korban agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan
rumah tangga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan
rumah tangga.
Untuk melakukan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga,
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan
perempuan melaksanakan tindakan pencegahan, antara lain,
menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sudah saatnya dibentuk Undang-
Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan
23
berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan
penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini
adalah termasuk anak angkat dan anak tiri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hubungan perkawinan”
dalam ketentuan ini, misalnya mertua, menantu,
ipar, dan besan.
Huruf c.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu
keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati
status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk
24
mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya
bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara
proporsional.
Huruf c.
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini
adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar
dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lembaga sosial” adalah lembaga
25
atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah
kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga
bantuan hukum.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pekerja sosial” adalah seseorang
yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan
sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
pengalaman praktik di bidang pekerjaan
sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh
pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan
sosial.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
26
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “kerja sama” adalah sebagai wujud peran
serta masyarakat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “relawan pendamping” dalam ketentuan
ini adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan
konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan
diri korban kekerasan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
27
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rumah aman” dalam
ketentuan ini adalah tempat tinggal sementara yang
digunakan untuk memberikan perlindungan
terhadap korban sesuai dengan standar yang
ditentukan. Misalnya, trauma center di Departemen
Sosial.
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal alternatif”
dalam ketentuan ini adalah tempat tinggal korban
yang terpaksa ditempatkan untuk dipisahkan
dan/atau dijauhkan dari pelaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
28
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini, misalnya: pingsan, koma, dan sangat
terancam jiwanya.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
29
Yang dimaksud “kondisi khusus” dalam ketentuan
ini adalah pembatasan gerak pelaku, larangan
memasuki tempat tinggal bersama, larangan
membuntuti, mengawasi, atau mengintimidasi
korban.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
30
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
31
Pasal 50
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu” adalah
lembaga yang sudah terakreditasi menyediakan konseling
layanan bagi pelaku. Misalnya rumah sakit, klinik,
kelompok konselor, atau yang mempunyai keahlian
memberikan konseling bagi pelaku selama jangka waktu
tertentu.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan
kepada hakim menjatuhkan pidana percobaan dengan
maksud untuk melakukan pembinaan terhadap pelaku dan
menjaga keutuhan rumah tangga
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang
dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.
Pasal 56
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4419
32